E-learning merupakan usaha untuk membuat transformasi proses belajar-mengajar yang ada di sekolah ke dalam bentuk digital yang dijembatani oleh teknologi Internet [1, 6]. E-learning dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk teknologi informasi yang diterapkan di bidang pendidikan dalam bentuk kelas maya. Artinya siswa dan pengajar tidak harus bertatap muka secara langsung untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar seperti layaknya di dalam kelas, melainkan mereka berinteraksi secara tidak langsung melalui komputer mereka masing-masing yang terhubung dengan Internet. Oleh karena itu, kelas maya memungkinkan seseorang untuk belajar tanpa bergantung pada tempat dan waktu serta memungkinkan seseorang untuk mendapatkan pembelajaran seumur hidup [3]. Akan tetapi penyampaian materi pembelajaran yang baik pada sistem E-learning bukan hal yang mudah untuk dilakukan, di samping adanya keterbatasan akses internet di Indonesia.
Sebuah pendekatan untuk mengembangkan e-learning adalah menggunakan teori games. Teori ini dikemukakan berdasar pengamatan terhadap perilaku
para penggemar games komputer. Selama bermain games, para pemain akan dibuat hanyut dengan karakter yang dimainkannya sehingga mampu duduk berjam-jam untuk memainkan permainan tersebut dengan senang hati. Fenomena ini menarik bagi para peneliti bidang pendidikan dalam menyusun sebuah sistem pendidikan yang efektif.
Dengan membuat e-learning yang mampu meng¬hanyutkan para peserta untuk mengikuti setiap langkah belajar, seperti layaknya ketika bermain sebuah games, diharapkan muncul sumbangan positif bagi proses belajar siswa itu sendiri. Dengan menyisipkan permainan-permainan dalam sebuah pelajaran, proses belajar akan menjadi lebih menye¬nangkan tanpa harus kehilangan makna dan tujuan yang ingin dicapai dari proses belajar itu sendiri. Hal ini merupakan modal awal yang sangat baik untuk proses belajar selanjutnya. Tanpa modal yang muncul dari pihak peserta sendiri, segala usaha pendekatan dari pihak pengajar menjadi mustahil dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, dalam perancangan sistem e-learning ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi yaitu sederhana, personal, dan cepat. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta dalam meman¬faatkan teknologi yang ada. Adanya kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi waktu perkenalan terhadap sistem e-learning itu sendiri sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar dan bukan pada belajar peng¬gunaan sistem e-learning-nya. Dengan merancang sistem e-learning yang bersifat personal, pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya seorang pengajar yang berkomunikasi dengan siswa¬nya di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, siswa diperhatikan kemajuan¬nya serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya dalam pelajarannya. Diharapkan hal ini akan membuat betah para peserta yang ada.
Learning Technology Systems Architecture
LTSA merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh divisi edutool dari Farance Incorporation yang dikembangkan berdasarkan IEEE 1484. LTSA adalah arsitektur yang menggambarkan rancangan sistem level tinggi beserta komponen-komponennya. LTSA mencakup sistem yang sangat luas yang umumnya dikenal sebagai learning technology, education and training technology, computer-based training, computer assisted instruction, intelligent tutoring, metadata, dan sebagainya. Arsitektur ini bersifat netral terhadap aspek pedagogi, isi, budaya, dan platform dari suatu sistem pengajaran.
LTSA terdiri dari lima lapis arsitektur yang dapat dilihat pada gambar 1. Setiap layer menggambarkan sebuah sistem pada level yang berbeda. Layer yang lebih tinggi memiliki prioritas yang lebih besar dan berpengaruh dalam analisis dan perancangan sistem. Dengan kata lain, layer yang lebih tinggi merupakan abstraksi dari layer yang di bawahnya, sedangkan layer yang lebih rendah merupakan implementasi dari layer yang di atasnya.
Kelima lapisan tersebut dari tertinggi hingga terendah adalah:
Lapis 1: Learner and Environment Interactions Lapisan ini berfokus pada akuisisi, transfer, pertukaran, formulasi, dan penemuan dari siswa terhadap pengetahuan dan/atau infor¬masi melalui interaksi dengan lingkungan¬nya.
Lapis 2: Learner-Related Design Features
Lapisan ini berfokus pada pengaruh atau efek yang dimiliki siswa pada perancangan dari sistem pembelajaran.
Lapis 3: System Components
Lapisan ini mendeskripsikan komponen dasar arsitektur yang diidentifikasi pada lapis ke-2.
Lapis 4: Implementation Perspectives and Priorities Lapisan ini mendeskripsikan sistem pem¬belajaran dari berbagai perspektif dengan mengacu pada lapis ke-3. LTSA telah memformulasikan lebih dari 120 stake¬holder perspective. Setiap stakeholder memiliki perspektif yang berbeda terhadap sistem pembelajaran.
Lapis 5: Operational Components and Interopera¬bility
Lapisan ini mendeskripsikan komponen dan antarmuka yang bersifat generik dari arsitektur pembelajaran berbasis teknologi informasi seperti yang diidentifikasi pada lapis ke-4. Dengan mengetahui standar interoperabilitas (codings, APIs, protocols) yang digunakan maka dapat ditingkatkan pemahaman terhadap sistem dan dapat diketahui interoperabilitas potensialnya.
Sedangkan komponen-komponen sistem LTSA, seperti nampak pada gambar 2, terdiri dari:
Proses, yang meliputi entitas siswa, evaluasi, pelatih, dan pengiriman. Proses dideskripsikan dengan batasan, input, proses (fungsionalitas), dan output.
Penyimpanan data, yang meliputi rapor siswa dan sumber daya pembelajaran. Penyimpanan data dideskripsikan dengan tipe dari informasi yang disimpan dan dengan metode search, retrieval, dan update.
Aliran data, yang meliputi perilaku, penilaian, informasi siswa, query, info katalog, lokator, materi pembelajaran, multimedia, konteks interaksi, dan preferensi pembelajaran. Aliran data dideskripsikan dengan konektivitas (one-way, two-way, static connections, dynamic connections, dan sebagainya) dan tipe informasi yang dialirkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar